Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
al-Wala’ wal Bara’ atau loyalitas dan kebencian merupakan
bagian penting di dalam Islam. Cinta dan benci karena Allah bahkan
merupakan simpul keimanan yang paling kuat.
Fudhail bin ‘Iyadh
rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
mencintai pembela bid’ah maka Allah akan menghapuskan amalnya dan Allah
akan mencabut cahaya Islam dari dalam hatinya.” (lihat
Min A’lam as-Salaf [2/47])
Fudhail bin ‘Iyadh
rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mendukung pembela bid’ah sesungguhnya dia telah membantu untuk menghancurkan agama Islam.” (lihat
Min A’lam as-Salaf [2/47])
Mujahid
rahimahullah berkata, “Sekuat-kuat simpul keimanan adalah cinta karena Allah dan membenci karena Allah.” (lihat
Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1170)
Dari Anas bin Malik
radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “
Ada
tiga perkara; barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada dirinya niscaya
dia akan merasakan manisnya iman. Orang yang menjadikan Allah dan
Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Dia mencintai
seseorang semata-mata karena kecintaannya kepada Allah. Dia tidak suka
kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dia darinya,
sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Anas bin Malik
radhiyallahu’anhu menceritakan, suatu ketika seorang Arab Badui berkata kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan hari kiamat terjadi?”. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “
Apa yang kamu persiapkan untuk menghadapinya?”. Ia menjawab, “Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Nabi bersabda, “
Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.”
Anas berkata, “Tidaklah kami bergembira setelah masuk Islam dengan
kegembiraan yang lebih besar selain tatkala mendengar sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “
Kamu akan bersama dengan orang yang kamu cintai.”
Maka aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap
bersama mereka -di akherat- meskipun aku tidak bisa beramal seperti
mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa kecintaan yang bermanfaat itu meliputi:
- Cinta kepada Allah -yang sejati, bukan sekedar klaim/omong kosong-,
- Mencintai apa saja yang Allah cintai,
- Cinta terhadap sesuatu atau seseorang karena Allah (hubb lillah wa fillah) (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 97 dan ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 214)
Kecintaan kepada Allah harus dibuktikan dengan mengikuti ajaran Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
ta’ala berfirman,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِى
“
Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku.” (QS. Ali Imran: 31)
Imam an-Nawawi
rahimahullah berkata, “Kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya -
subhanahu wa ta’ala- ialah dengan melakukan ketaatan kepada-Nya dan tidak menyelisihi aturan-Nya, demikian pula halnya kecintaan kepada Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat
Syarh Muslim [2/96])
Kelezatan iman inilah yang akan mengokohkan pijakan keislaman seorang
hamba. Sehingga dia tidak akan goyah karena iming-iming dunia atau
ancaman senjata. Heraklius berkata kepada Abu Sufyan, “Aku pun bertanya
kepadamu mengenai apakah ada diantara mereka -pengikut nabi- yang murtad
karena marah terhadap ajaran agamanya setelah dia masuk ke dalamnya?
Kamu menjawab, tidak ada. Maka demikian itulah yang terjadi apabila
kelezatan iman telah merasuk dan teresap di dalam hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnu Baththal
rahimahullah mengatakan, “Adapun pertanyaan
yang diajukan mengenai kemurtadan pengikutnya. Latar belakangnya adalah
bahwa orang yang masuk (agama) tanpa dilandasi dengan bashirah/ilmu
tentangnya niscaya ia akan mudah untuk kembali (murtad) dan goyah.
Adapun orang yang masuk -ke dalam Islam- dengan landasan ilmu dan
keyakinan yang benar maka hal itu akan menghalanginya dari kemurtadan.”
(lihat
Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/46])
Syaikh as-Sa’di
rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh
ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu
merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah
hakikat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta
seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya
harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga
rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya
dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang
dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya
seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.”
(lihat
al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Sehingga tidak akan terkumpul pada diri seseorang antara keimanan dengan rasa cinta kepada
musuh-musuh Allah. Allah
ta’ala berfirman,
قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ فِىٓ
إِبۡرَٲهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ ۥۤ إِذۡ قَالُواْ لِقَوۡمِہِمۡ إِنَّا
بُرَءَٲٓؤُاْ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرۡنَا
بِكُمۡ وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ الۡعَدَٲوَةُ وَالۡبَغۡضَآءُ
أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِاللَّهِ وَحۡدَهُ
“
Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan
orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya;
Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian
sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami
dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya sampai kalian mau
beriman kepada Allah saja” (QS. al-Mumtahanah: 4)
Suatu ketika, Abdullah putra Abdullah bin Ubay bin Salul -gembong munafikin- duduk di hadapan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu beliau sedang minum. Abdullah berkata kepada beliau,
“Wahai
Rasulullah, tidakkah anda sisakan air minum anda untuk aku berikan
kepada ayahku? Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatinya dengan
air itu.” Nabi pun menyisakan air minum beliau untuknya. Lalu
Abdullah datang menemui ayahnya. Abdullah bin Ubay bin Salul bertanya
kepada anaknya,
“Apa ini?”. Abdullah menjawab,
“Itu adalah
sisa minuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku membawakannya
untukmu agar engkau mau meminumnya. Mudah-mudahan Allah berkenan
membersihkan hatimu dengannya.”Sang ayah berkata kepada anaknya,
“Mengapa kamu tidak bawakan saja kepadaku air kencing ibumu, itu lebih suci bagiku daripada bekas air minum itu.” Maka dia -Abdullah- pun marah dan datang -melapor- kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah anda mengizinkan aku untuk membunuh ayahku?”. Nabi menjawab,
“Jangan, hendaknya kamu bersikap lembut dan berbuat baik kepadanya.” (lihat
Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 54)
Mencintai Para Sahabat Nabi
Dari Anas
radhiyallahu’anhu, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “
Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi
rahimahullah berkata, “Kami [Ahlus Sunnah] mencintai sahabat-sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun, kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah seorang di
antara mereka. Kami juga tidak berlepas diri/membenci terhadap seorang
pun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka, dan juga
orang-orang yang menjelek-jelekkan mereka. Kami tidak menceritakan
keberadaan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah
ajaran agama, bagian dari keimanan, dan bentuk ihsan. Adapun membenci
mereka adalah kekafiran, sikap munafik dan melampaui batas/ekstrim.”
(lihat
Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 467 oleh Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah berkata, “Mereka -Ahlus Sunnah- mencintai para Sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka juga mengutamakan para sahabat di atas segenap manusia. Karena
kecintaan kepada mereka [sahabat] itu pada hakikatnya adalah bagian dari
kecintaan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara kecintaan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian dari kecintaan kepada Allah…” (lihat
Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, Jilid 2 hal. 247-248)
Imam Abu Zur’ah ar-Razi
rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan
adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an
dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk
menjatuhkan kedudukan para saksi kita dalam rangka membatalkan al-Kitab
dan as-Sunnah. Oleh sebab itu sebenarnya mereka itu lebih pantas untuk
dicela, mereka itulah orang-orang zindik.” (lihat
Qathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)
Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah berkata, “Termasuk Sunnah [pokok agama] adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
salah seorang dari mereka, maka dia adalah seorang tukang bid’ah
pengikut paham Rafidhah/Syi’ah. Mencintai mereka -para Sahabat- adalah
Sunnah [ajaran agama]. Mendoakan kebaikan untuk mereka adalah ibadah.
Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan mengambil atsar/riwayat
mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat
Qathful Jana ad-Daani, hal. 162)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar