Sabtu, 30 Agustus 2014

Dua Kisah Batil Tentang Ali Bin Abi Thalib Menemukan Baju Besinya Di Tangan Seorang Yahudi


DUA KISAH BATIL TENTANG ALI BIN ABI THALIB MENEMUKAN BAJU BESINYA DI TANGAN SEORANG YAHUDI


Oleh


Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i



Abu Nu’aim rahimahullahu berkata dalam kitab beliau Al-Hilyah (4/139) : Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan menceritakan kepada kami, Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats menceritakan kepada kami, dan Sulaiman bin Ahmad menceritakan kepada kami, Muhammad bin Aun As-Sairafi Al-Muqri meceritakan kepada kami, Ahmad bin Al-Miqdam menceritakan kepada kami, Hakim bin Khidzam Abu Samir menceritakan kepada kami, Al-Ama’sy menceritakan kepda kami dari Ibrahim bin Yazid At-Taimi, dari ayah beliau, ia (ayah beliau) berkata : “Ali bin Abi Thalib menemukan baju besinya di tangan seorang Yahudi yang menemukannya dan Ali lalu mengetahuinya, Ali pun berkata, ‘Baju besiku jatuh dari untaku yang bernama Auraq (yang berwarna abu-abu)’. Si Yahudi berkata, ‘Ini baju besiku dan ada di tanganku’. Lalu si Yahudi berkata kepada Ali, ‘Kita bawa perkara ini kehadapan seorang hakim kaum muslimin!.’

Keduanya pun mendatangi Syuraih dan ketika Syuraih melihat kedatangan Ali, beliaupun bergerser dari tempat duduknya, lalu Ali duduk di tempat Syuraih. Ali kemudian berkata. ‘Seandainya lawanku (dalam perkara ini) seorang muslim, niscaya aku menganggapnya sama (sederajat) dalam majelis’. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian menyamakan mereka (orang-orang Yahudi) dalam majelis, dan giringlah mereka ke jalan yang tersempit. Jika mereka mencaci maki kalian maka pukullah mereka, dan jika mereka membalas memukul kalian maka bunuhlah mereka”. Kemudian Syuraih berkata, ‘Apa keperluan anda wahai Amirul Mukminin?’. Ali menjawab, ‘Baju besiku jatuh dari untaku yang bernama Auraq dan ditemukan oleh si Yahudi ini’. Syuraih lalu berkata, ‘Apa tanggapan anda wahai orang Yahudi?’ Si Yahudi lalu berkata, ‘Baju besi ini milikku dan ada di tanganku’. Maka Syuraih berkata, “Demi Allah, engkau benar wahai Amirul Mukminin. Baju besi itu pasti milik anda, tetapi harus ada dua orang saksi’. Kemudian Ali memanggil Qunbur (budak beliau) dan Hasan bin Ali, putra beliau. Lalu keduanya bersaksi bahwa baju besi tersebut adalah milik Ali. Syuraih berkata, ‘Adapun kesaksian maula anda ini maka kami membolehkannya, sedangkan kesaksian putra anda maka kami tidak membolehkannya’.

Maka Ali berkata kepada Syuraih, ‘Celaka anda! Apakah anda tidak pernah mendengar Umar bin Khaththab mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hasan dan Husein adalah pemimpin para pemuda surga”. Syuraih berkata, ‘Benar!’. Ali berkata, ‘Lalu kenapa anda tidak membolehkan kesaksian pemimpin para pemuda surga? Demi Allah, aku akan memindahkanmu ke Banfia [1], dan menjadi qadhi (hakim) di sana selama empat puluh hari. Kemudian Ali berkata kepada si Yahudi, ‘Ambillah baju besi itu!, ‘Si Yahudi lalu berkata, Amirul Mukminin menghadap besamaku ke hakim kaum muslimin, lalu sang hakim memutuskannya kalah dalam persidangan dan ia menerimanya. Demi Allah, anda yang benar wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya ini adalah baju besi anda yang jatuh dari unta anda dan aku menemukannya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah’. Lalu Ali menghibahkan baju besinya kepada si Yahudi dan menambahkan kepadanya hadiah. Si Yahudi kemudian mati terbunuh dalam peperangan Shiffin dalam membela Ali”.

Redaksi bahasa ini disusun Muhammad bin Aun. Abdullah bin Sulaiman menyebutkan, “Ali berkata, ‘Baju besi itu untukmu dan kuda ini untukmu sebagai hadiah’. Maka si Yahudi pun terus bersama Ali bin Abi Thalib hingga ia terbunuh dalam peperangan Shiffin”.

Kisah ini termasuk yang janggal dari hadits Al-A’masy yang beliau riwayatkan dari Ibrahim bin Yazid At-Taimi. Hakim meriwayatkan hadits ini sendirian dan diriwayatkan juga oleh putra-putra Syuraih dari beliau, dari Ali bin Thalib.

Kisah kedua (versi lain) : Muhammad bin Ali bin Hubaisy menceritakan kepada kami. Al-Qasim bin Zakaria Al-Muqri menceritakan kepada kami, Ali bin Abdullah bin Mu’awiah bin Maisarah menceritakan kepada kami dari Syuarih, bahwa beliau berkata : “Ketika Ali berangkat ke medan perang melawan Mu’awiah, beliau kehilangan baju besinya. Setelah peperangan usai dan beliau kembali ke Kufah, beliau mendapatkan baju besi berada pada orang Yahudi yang sedang menjualnya di pasar. Beliaupun berkata, ‘Wahai Yahudi, baju besi ini milikku, aku tidak menjualnya dan tidak pula menghibahkannya!’. Si Yahudi lalu berkata, ‘Baju besi ini milikku dan (sekarang) berada di tanganku’. Beliau berkata, ‘Kita menghadap qadhi!’

Keduanyapun menemui Syuraih (qadhi pada masa itu), kemudian beliau duduk disamping Syuraih sedangkan si Yahudi duduk di hadapan beliau. Beliau kemudian berkata, ‘Kalaulah tidak karena lawanku (dalam perkara) ini seorang kafir dzimmi, niscaya aku akan duduk berdampingan dengannya’. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Anggaplah mereka kecil sebagaimana Allah telah menganggap (memperlakukan) mereka kecil’. Syuraih lalu berkata, “Silahkan wahai Amirul Mukminin mengatakan sesuatu!’. Beliaupun berkata, ‘Ya, sesungguhnya baju besi yang berada pada si Yahudi ini adalah baju besiku. Aku tidak menjulannya dan tidak pula menghibahkannya. Syuraih berkata, ‘Apa tanggapan anda, wahai Yahudi?’. Si Yahudi berkata, ‘Baju besi ini milikku dan ada padaku’. Syuraih berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, anda memiliki bukti?’ Beliau berkata, ‘Ya, Qunbur dan Hasan akan menjadi saksi bahwa baju besi itu adalah milikku’. Syuraih berkata, ‘Kesaksian seorang anak terhadap ayahnya tidak dibenarkan’. Ali berkata, ‘Seorang lelaki penghuni surga tidak boleh bersaksi?’. ‘Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :’ Hasan dan Husein adalah pemimpin para pemuda penghuni surga’. Selanjutnya si Yahudi pun berkata, ‘Amirul Mukminin membawaku ke qadhi (hakim), dan qadhi memutuskannya kalah (dalam persidangan). Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya baju besi in milik anda. Ketika anda sedang menunggung unta menuju Shiffin, di sutua malam baju besi itu pun jatuh dari unta anda lalu aku mengambilnya’. Setalah peristiwa ini, si Yahudi tersebut turut berperang bersama Ali melawan orang-orang durhaka di Nahrawan dan terbunuh dalam peperangan tersebut”.

Aku membaca kisah ini di Subulus-Salam karya Ash-Shan’ani, di mana beliau menyandarkannya pada kitab Al-Hilyah dan aku kagum dengannya. Saat itu akan belum bisa membedakan antara yang shahih dan yang maudhu (palsu). Terbayang dalam pikiranku tentang keadilan dan kejujuran Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, begitu pula sang qadhi Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi rahimahullahu. Selang beberapa lama aku menelaah kitab Al-Abathil karya Al-Jauzaqani, di mana beliau menyebutkan kisah ini di dalamnya sebagai kisah yang batil. Ketika aku melihat banyak orang yang kagum dengan kisah ini seperti halnya aku dulu, ada yang menceritakannya dalam ceramah dan ada yang menulisnya di majalah, sementara yang lain menulisnya dalam buku karangannya, padahal kisah ini sendiri tidak benar, maka aku memandang perlu menyebutkan pernyataan para ulama mengenai kisah ini, sebagai berikut:

Al-Jauzaqani rahimahullahu menyebutkan dalam kitab beliau Al-Abathil (2/197), beliau mengatakan, “Ini adalah riwayat yang batil (tidak benar). Abu Sumair seorang yang haditsnya mungkar, meriwayatkannya seorang diri… dst”. Ibnu Jauzi menyebutkannya dalam Al-Ilalul Mutanahiah (2/388) di mana beliau menyatakan hal yang senada dengan yang ditulis Al-Jauzaqani. Imam Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam Miizanul I’tidal ketika beliau mengemukakan biografi Abu Sumair Hakim bin Khidzam ini –yang dalam Al-Hilyah dan Al-Abathil disebutkan, Hizam (dan bukan Khidzam)- Beliau juga mengatakan bahwa Abu Hatim berkata, “Sesungguhnya Abu Sumair diitnggalkan haditsnya”. Bukhari berkata, “Haditsnya mungkar dan seorang yang dinilai beraliran Qadariah”. Sedang Al-Qawariri berkata, “Aku bertemu dengannyam dia seorang hamba Allah yang shalih”.

Dengan demikian diketahui bahwa kisah ini sangat dha’if (lemah, tidak kuat) ditinjau dari jalur Abu Sumair Hakim bin Khidzam.

Adapun sanad yang kedua, maka di dalamnya terdapat perawi yang disebutkan (saqath) atau terjadi perubahan nama (tashhif), yaitu sanad dari jalur Ali bin Abdullah bin Maisarah dari Syuraih dan Ali bin Abdullah bin Mu’awiah. Ali bin Abdullah bin Maisarah di sini tidk meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, dari Syuraih, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mizan dan Al-Lisan. Dengan demikian dalam sanad ini terdapat saqath atau setidaknya tashhif. Kemudian Adz-Dzahabi meriwayatkan dari Abu Hatim bahwa beliau menyebutkan kisah lain yang ia ceritakan kepada beliau (Abu Hatim), lalu beliau berkata, “Aku menulis kisah ini, agar aku mendengarkannya dari Syaikh ini (Ali bin Abdullah), kemudian aku membuangnya karena kisahnya maudhu (dibuat-buat).

Kemudian aku mendapatkan kisah dengan sanad yang kedua ini dari kitab Akhbarul Qudhah karya Muhammad bin Khalaf yang bergelar Waqi, beliau berkata (2/194) : Ali bin Abdullah bin Maisarah bin Syuraih Al-Qadhi (sang hakim) menceritakan kepada kami, Ayahnya menceritakan kepadanya dari ayahnya (kakek) Mu’awiah, dari Maisarah, dari Syuraih, bahwa beliau berkata : “Ketika Ali pulang dari peperangan melawan Mu’awiah, beliau menemukan baju besinya yang hilang berada di tangan seorang Yahudi yang sedang menjualnya. Beliaupun berkata kepada si Yahudi, ‘Ini baju besiku, aku tidak pernah menjualnya dan tidak pula menghibahkannya’. Si Yahudi berkata, ‘Ini adalah baju besiku dan berada di tanganku’. Lalu keduanya pun menghadap Syuraih. Syuraih berkata kepada Ali sebagai pihak penuntut, ‘Apakah anda memiliki bukti?’ Ali menjawab, ‘Ya, Qunbur dan putraku Hasan’. Syuraih berkata, “Kesaksian seorang anak terhadap ayahnya tidak di bolehkan’. Lalu Ali berkata, ‘Maha suci Allah ! Ia seorang laki-laki penghuni surga”.

Dengan demikian diketahhui bahwa sanad Abu Nu’aim terdapat perawi yang tidak disebutkan atau terjadi tashhif. Sanadnya tersebut tidak jelas, aku tidak menemukannya dalam kitab-kitab Jarhu wa-Ta’dil kecuali sekedar biografi Ali bin Abdullah bin Mu’awiah dan biografi Mu’awiah bin Maisarah dalam kitab Al-Jarhu wa-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim, di mana beliau berkata, “Ia seorang syaikh”.

Jadi dengan ini diketahui bahwa kisah di atas tidak tsabit, sementara keadilan Islam tetap dapat diketahui meskipun tidak melalui kisah di atas yang batil ini. Alhamdulillah.

[Disalin dari kitab edisi Indonesia Bantahan terhadap Musuh Sunnah, Penulis Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Penerjemah Munawwir A Djasari, Penerbit Pustaka Azzam, Pebruari 2003]
__________
Foote Note
[1]. Banfia adalah suatu wilayah di ujung kota Kufah, sebagaimana yang disebutkan dalam Ta’liqatas kitab Al-Hilyah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar