Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Hafidzahullah
Para da’i harus memulai dakwahnya dengan mengajak kepada tauhid karena itu adalah dakwah paling utama dan paling mulia. Dakwah tauhid berarti mengajak kepada derajat keimanan yang paling tinggi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang, cabang yang paling tinggi adalah perkataan: ‘Laa ilaaha illallaah’, yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan dan malu adalah salah satu cabang Iman.” [1]
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwasanya cabang-cabang keimanan lainnya tidak akan sah dan tidak diterima kecuali setelah sahnya cabang yang paling utama ini (tauhid).
Berdasarkan apa yang disebutkan di atas, maka semua gerakan dakwah yang berdiri tegak di atas dakwaan dan simbol ishlah (perbaikan), namun tidak memfokuskan perhatian dan tidak bertolak dari upaya perbaikan tauhid, tentunya akan terjadi penyelewengan dan penyimpangan sesuai dengan kejauhannya dari pokok yang sangat penting ini. Sebagaimana perbuatan orang-orang itu telah menghabiskan usia mereka dalam memperbaiki mu’amalah antara manusia, namun mu’amalah mereka terhadap al-Khaliq (Allah) atau ‘aqidah mereka terhadap-Nya menyimpang jauh dari petunjuk Salafush Shalih. Sama halnya dengan mereka yang telah menghabiskan umurnya dalam upaya menempati dan menduduki sistem pemerintahan dengan harapan akan mampu mengadakan perbaikan pada manusia melalui jalur tersebut atau dengan mengerjakan berbagai kegiatan politik untuk mengejar dan meraih kekuasaan, namun demikian mereka tidak menaruh perhatian untuk memperbaiki kerusakan ‘aqidah mereka dan kerusakan ‘aqidah orang-orang yang menjadi objek dakwah mereka.
Peran ‘aqidah dalam kehidupan amat penting, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menekankan kepada para da’i agar senantiasa mencurahkan perhatian mereka kepadanya dan mengawali dakwah mereka dengannya seperti yang tercantum dalam hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu
Ada sebagian orang merasa heran dan aneh dengan diprioritaskannya dakwah kepada tauhid? (Kami jawab): “Bukankah hak Allah berupa pengesaan di dalam beribadah adalah sesuatu yang paling berhak mendapatkan perhatian dan paling berhak untuk sering diucapkan oleh lisan manusia? Tauhid adalah hak Allah Azza wa Jalla yang murni, bagaimana mungkin dianggap sebagai masalah kecil dan remeh oleh para pelopor gerakan-gerakan dan manhaj-manhaj dakwah di zaman ini? Bukankah hal inilah yang paling utama untuk dibukakan baginya pintu-pintu dan dilapangkan baginya tempat-tempat dan kesempatan?”
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menuturkan: “Tauhid adalah kunci pembuka dakwah para Rasul.” Kemudian beliau menyebutkan tentang hadits Mu’adz yang telah disebut sebelum-nya. [2]
Walaupun kondisi dan problematika ummat berbeda-beda namun tetap yang menjadi prioritas dalam dakwah adalah mengajak kepada tauhid. Sama saja halnya, apakah problem mereka di bidang perekonomian sebagaimana yang dihadapi oleh kaum Mad-yan, ataupun problem demoralisasi (kebobrokan moral) seperti yang terjadi pada kaum Nabi Luth Alaihissalam. Penulis tidak perlu menyebutkan: “Atau problem yang dihadapi mereka adalah krisis politik,” karena semua ummat dan bangsa yang tersebut pada ayat-ayat di atas belum diberlakukan pada mereka hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
Cahaya dakwah tauhid yang diberkahi ini sekali-kali tidak boleh padam sesaat pun hanya dengan berdalih kestabilan dan kemantapan tauhid pada hati-hati manusia.
Meskipun kesadaran dan sambutan ummat terhadap tauhid telah mencapai kesempurnaan, namun demikian pasti terdapat kekurangan pada diri manusia. Kekurangan yang paling jelek adalah kekurangan dalam keikhlasan dan lenyapnya keyakinan tauhid. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tinggal diam, beliau senantiasa menyebut kejelekan perbuatan syirik, hingga pada hari-hari terakhir kehidupan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia ini. Padahal kondisi ummat pada saat itu telah mencapai puncak kekuatannya dalam bertauhid kepada Rabb-nya dan mereka berada pada satu barisan. [3]
Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Footnotes
[1]. Lihat Madaarijus Saalikiin (III/462), cet. Daarul Hadits.
[2]. Disadur secara ringkas dari Sittu Durar min Ushuul Ahlil Atsar (hal. 16-20, 22, 23) oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, cet. Maktabah al-‘Umarain al-‘Ilmiyyah, th. 1420 H, at-Tauhiid Awwalan yaa Du’aatal Islam oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. II-Maktabah al-Ma’arif-th. 1422 H, al-‘Aqiidah Awwalan lau Kaanu Ya’lamuun oleh Dr. ‘Abdul Aziz al-Qaari’, cet. II-th. 1406 H, Manhajul Anbiyaa’ fid Da’wah ilallaah fiihil Hikmah wal ‘Aql oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 9) dan Muslim (no. 35). Lafazh ini milik Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar